Selasa, 11 Oktober 2011

Budaya Politik

Dunia terus berputar, waktu terus berjalan, ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang pesat, sehingga peradaban manusia di dunia ini juga ikut berubah. Seiring dengan perubahan tersebut maka kebudayaan,  tingkah laku  dan  pola  pikir  manusia secara Otomatis berubah menyesuaikan dengan peradaban zaman modern seperti sekarang ini. Budaya dan manusia tidak bisa dipisahkan karena budaya terbentuk dari intelektual, sikap dan tingkah laku manusia.
Menurut Raymond Wiliams terdapat tiga arus penggunaan istilah budaya :
1.   Yang mengacu pada perkembangan intelektual, spiritual dan estetis dari seorang individu, sebuah kelompok atau masyarakat.
2.   Yang mencoba memetakan khasanah kegiatan intelektual dan artistik sekaligus produk-produk yang dihasilkan.
3.   Yang menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan, kenyakinan-kenyakinan dan adat istiadat sejumlah orang, kelompok atau masyarakat.
Sementara itu Krober dan Kluckhon menyatakan ada enam definisi mengenai budaya, yaitu :
1.   Definisi deskriptif : budaya sebagai totalitas keseluruhan hidup sosial yang lengkap dan luas.
2.   Definisi historis : budaya sebagai warisan antar generasi.
3.   Definisi normatif : budaya adalah aturan atau jalan hidup dan menekankan peran gugus nilai tanpa mengacu perilaku.
4.   Definisi psikologis : budaya sebagai alat pemecahan masalah yang membuat orang bisa berkomunikasi, belajar dan memenuhi pelbagai kebutuhan baik material atau emosional.
5.   Definisi struktural : budaya adalah abstraksi yang berbeda dari perilaku konkret.
6.   Definisi genesis : asal-usul bagaimana budaya bisa ada dan bertahan (budaya lahir dari interaksi antar manusia dari generasi ke generasi berikutnya).
Menurut Gabriel Almond budaya didefinisikan sebagai kepercayaan-kepercayaan, simbol-simbol ekpresif dan nilai-nilai yang relevan dalam masyarakat yang ditransmisikan, dipelajari dan dimiliki bersama, budaya juga merupakan hasil interaksi diantara manusia.
            Dari uraian arti dan makna budaya diatas tidak bisa dipungkiri bahwa dengan menganalisis budaya maka dapat meningkat pemahaman tentang ilmu politik. Politik pada hekekatnya adalah bagian dari upaya manusia dalam mempertahankan atau melangsungkan kehidupannya, jadi politik tidak bisa dipisahkan dari keterpaduannya dengan budaya. Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat, istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparatur pemerintah dan gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah.
            Pendapat lain dikemukan oleh Rusadi Kantaprawira (1999), budaya politik merupakan persepsi manusia, pola sikapnya terhadap berbagai masalah politik dan peristiwa politik terbawa pula ke dalam pembentukan struktur dan proses kegiatan politik masyarakat maupun pemerintah, karena sistem politik itu sendiri adalah interrelasi antara manusia yang menyangkut soal kekuasaan, aturan dan wewenang. Jadi kebudayaan politik tidak lain adalah bagian dari kebudayaan suatu masyarakat.
Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut :
1.      Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
2.      Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Aspek doktrin menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Aspek generik, menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
3.      Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
4.      Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau men dorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
            Almond dan G. Bingham Powell Jr. Berpendapat bahwa Budaya politik adalah seperangkat sikap-sikap, kepercayaan-kepercayaan dan perasaan-perasaan tentang politik yang terjadi dalam sebuah negara pada suatu waktu tertentu, budaya politik dibentuk oleh sejarah bangsa dan proses-proses sosial, ekonomi dan aktivitas politik yang berlangsung. Selain Almond dan Powell banyak para ahli ilmu politik yang mengkaji budaya politik sehingga banyak definisi tentang budaya politik, berikut ini pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya politik :
1.   Kay Lawson (1989) menyatakan bahwa budaya politik yaitu terdapatnya suatu perangkat yang meliputi seluruh nilai-nilai politik pada seluruh bangsa.
2.   Sidney Verba (1995) menyatakan bahwa budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.
3.   Alan R. Ball (1971) berpendapat, budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.
4.   Austin Ranney (1990) menurutnya bahwa budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama, sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
            Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki oleh masyarakat, namun setiap unsur masyarakat maka berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para ahli), maka dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut :
1.   Konsep budaya politik lebih mengedepankan tindakan, dan menekankan pada berbagai perilaku non-aktual seperti   orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang menyebabkan   Gabriel A. Almond (1996) memandang bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari sebuah sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah sistem politik. Budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut :
      -     Orientasi kognitif yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.
      -     Orientasi afektif yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan penampilannya.
      -     Orientasi evaluatif yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.
2.   Hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya budaya politik tidak akan lepas dari sistem politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam sistem politik, yaitu komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Seseorang akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur politik, fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya. Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan sebagainya.
3.   Budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini berkaitan  dengan pemahaman, bahwa budaya politik merupakan cerminan perilaku warga negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya sistem politik yang ideal.
            Berdasar sikap, nilai-nilai, informasi dan kecakapan politik maka dapat digolongkan orientasi-orientasi warga negara terhadap kehidupan politik dan pemerintahannya sebagai berikut :
1.   Orang yang melibatkan diri dalam kegiatan politik minimal ikut dalam pemberian suara (voting) dan mencari informasi tentang kehidupan politik maka dapat disebut budaya politik partisipan.
2.   Orang yang secara pasif patuh kepada pemerintah dan peraturan perundang-undangan dengan ikut pemilu disebut budaya politik subjek.
3.   Orang yang sama sekali tidak menyadari adanya pemerintahan dan politik disebut budaya parokhial.
            Budaya politik di Indonesia merupakan produk dari collective history (kumpulan sejarah) yaitu sebuah sistem politik yang berakar pada peristiwa-peristiwa dahulu dan pengalaman individual yang tengah memegang kendali politik pada waktu itu. Proses pembentukan negara Indonesia berkaitan erat dengan adanya ekspansi/penjajahan yang dilakukan oleh kolonial Belanda yang dilakukan dengan jalan kekerasan, kekuasaan pada waktu itu dianggap sebagai sesuatu yang bersifat mutlak, terpusat pada seseorang atau sekelompok individu. Sejarah kekerasan dan kekuasaan semacam itu lah yang terus menerus di reproduksi oleh setiap rezim kekuasaan pasca penjajahan dengan berbagai cara dan bentuk. Berdasar latar belakang itu lah oleh beberapa ahli politik bahwa Indonesia menganut budaya politik patrimonialisme yaitu pola kekuasaan berjalan di atas prinsip relasi kuasa antara penguasa sebagai patron (pengayom, pelindung atau penjamin kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan) dan rakyat sebagai obyek yang dilindungi, diayomi dan dijamin kenyamanan, keamanan dan kesejahteraannya.
            Indonesia, sebagai negara berkembang, memiliki akar sejarah patrimonialisme yang cukup kuat, yang oleh David Brown disebut sebagai neo-patrimonialisme yang  dicirikan oleh ikatan personal antara pimpinan dan anggota organisasi atau lembaga yang dipimpin, bukan ikatan struktural-organisasional. Pola relasi dalam lembaga semacam ini lebih banyak bekerja berdasar atas kesetiaan personal para anggota organisasi, dan bukan kesetiaan terhadap lembaga itu sendiri. Akibatnya, kinerja seorang pegawai sangat ditentukan oleh pimpinannya, bukan atas dasar kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai staf. Sistem relasi dalam kekuasaan semacam ini disebut sebagai pola relasi patron-client, di mana seorang pemimpin diperlakukan sebagai patron (pelindung atau penjamin kenyamanan hidup bagi anggota masyarakat yang dipimpinnya). Sementara itu, masyarakat menempati peran sebagai client, di mana kesejahteraan berada di tangan sang pemimpin atau patron. Pola relasi semacam ini pada umumnya berkembang di sejumlah negara yang memiliki sejarah kerajaan yang kuat, seperti Indonesia, di mana seorang raja diperlakukan sebagai pihak yang dilayani oleh rakyatnya. Raja juga menjadi pusat dari seluruh rangkaian kekuasaan yang berhak menikmati kesejahteraan akibat dari kekuasaan yang digenggamnya itu.
            Pada masa pemerintahan/rezim orde baru, pola pemerintahan berbentuk sentralistik dengan adanya sejumlah kelembagaan yang berfungsi sebagai pengayom bagi kepentingan masyarakat, namun dengan imbalan kekuasaan atau sumber daya material bagi para pemangku kekuasaan. Adanya istilah pamong praja dalam sistem pemerintahannya menggambarkan pejabat diasumsikan memiliki fungsi kepengayoman kepada masyarakat luas, namun fungsi tersebut tidak gratis, selain memberikan loyalitas, masyarakat juga harus memberikan sejumlah imbalan tertentu sebagai balas budi atas kenyamanan hidup yang sudah dinikmatinya. Mulai dari sini praktik pungutan liar, pemerasan, percaloan politik, dan praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) berjalan di tingkat pusat sampai daerah (propinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan kelurahan/desa), karena berbagai kenyamanan dan kemudahan yang dinikmati oleh rakyat diibaratkan sebagai pemberian dari pemerintah bukan karena hak dasar yang melekat pada tiap-tiap individu. Pembangkang terhadap pemerintahan orde baru dianggap sebagai oposisi yang akan mengganggu keamanan dan kenyamanan.
            Pada masa reformasi sekarang ini, watak dasar politik patrimonial tetap berlangsung, namun dengan format dan tampilan yang berbeda ditandai dengan menyebarnya kekuasaan ke sejumlah titik yang lebih merata seiring dengan perubahan kebijakan desentralisasi politik. Para penguasa lokal memerankan diri sebagai raja bagi komunitas yang dipimpinnya dengan imbalan loyalitas politik dan atau sumber daya material (uang). Pemeran politik patrimonial bukan lagi terpusat pada individu, tetapi lembaga sosial politik, terutama partai politik (parpol) yang menjamur terus bermunculan semakin banyak mengatas namakan rakyat. Slogan-slogan yang menjanjikan kesejahteraan rakyat dibuat untuk menyatupadukan dukungan politik untuk memenangi proses Pemilu, tetapi individu atau parpol yang berhasil duduk di singgasana pemerintahan seringkali mengingkarinya dan pura-pura lupa. Bahkan ada yang setelah diangkat menjadi pejabat negara menyelewengkan anggaran negara untuk membiayai kampanye politiknya untuk memenangkan pemilu berikutnya sehingga tetap bisa bertahan disinggasana pemerintahan. Selain itu ada juga pejabat negara yang melakukan kegiatan pembangunan memakai anggaran negara tapi pada rakyat mengaku dana yang dipakai dalam pembangunan itu adalah dana dari partai politiknya dengan maksud untuk menarik simpati rakyat untuk tetap memilihnya.
            Negara Indonesia adalah negara hukum, berlandaskan UUD 1945 dan Demokrasi Pancasila, maka seharusnya mencerminkan mekanisme politik yang bisa menjamin adanya pemerintahan yang tanggap terhadap hak dan keinginan rakyat, tapi pada kenyatannya tidak demikian, UUD 1945 dan Pancasila tidak diaplikasikan secara murni, hukum dan agama dipolitisir, seolah-olah Negara Indonesia dikendalikan oleh rezim yang berkuasa, mereka mengekploitasi kekuasaannya diberbagai bidang sehingga para birokrat menjadi tidak netral dalam tindakannya lebih mengutamakan kepentingan rezim yang berkuasa dibanding kepentingan rakyat maka dalam hal ini sepertinya birokrat menjadi kepanjangan tangan rezim yang berkuasa. Kehidupan rakyat  menjadi tertekan ketika institusi birokrasi dan institusi politik yang seharusnya berperan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial didominasi dan dikendalikan oleh rezim yang berkuasa.
            Untuk mengembalikan negara Indonesia menuju negara hukum yang berlandaskan UUD 1945 dan Demokrasi Pancasila maka diperlukan perubahan yang global terhadap moralitas dan mentalitas bangsa serta mengukuhkan niat untuk perbaikan seutuhnya. Membalikan pola pikir para elit politik bahwa politik bukanlah arena bermain untuk bersenang-senang, tetapi politik sebagai alat untuk didedikasikan bagi pemenuhan kebutuhan dasar rakyat dalam menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial. Konsekuensinya, posisi rakyat dalam struktur negara harus diubah menjadi raja yang harus dilayani oleh para pejabat (penguasa) dan birokrat, bukan sebaliknya, rakyat menjadi pelayan yang harus melayani kebutuhan penguasa seperti dalam hierarkhi sistem politik kuno. Pajak dan retribusi yang dibayarkan oleh rakyat harus dikembalikan dalam bentuk pelayanan prima atas segala kebutuhan masyarakat, bukan malah dinikmati oleh segelintir pejabat/elit politik yang berkuasa dalam pemerintahan.
            Seluruh struktur kelembagaan di Indonesia perlu dibenahi agar mampu menjalankan fungsi pelayanan yang baik dan sebagai pemecah masalah yang munsul dalan rakyat sehingga terbentuk pemerintahan yang tertata dengan baik (good governance). Berbagai produk perundangan yang digodok oleh lembaga legislatif yang belum mampu menyentuh kebutuhan dasar masyarakat dibenahi dan ditata ulang kearah yang lebih baik. Partai-partai politik yang ada diharapkan bisa berperan sebagai katalisator aspirasi rakyat. Rakyat harus diikut sertakan dalam pemerintahan jangan ada lagi isu bahwa rakyat akan dibutuhkan oleh para elit kekuasaan pada saat-saat tertentu yaitu ketika ada perhelatan politik seperti pemilihan umum, setelah itu ketika kekuasaan sudah diduduki, rakyat pun dilupakan.
            Seharusnya politik adalah mekanisme yang dgunakan untuk mengatur pembagian kekuasaan. Subyek dan obyek dalam politik adalah rakyat, sementara para elit/pejabat berposisi sebagai pelayan mereka. Politik harus diabdikan untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara, yakni untuk memakmurkan, mensejahterakan setiap waga negara.

Referensi :
Budiardjo, Miriam. dkk. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta : Universitas Terbuka, 20011.
Rahardiansyah, Trubus. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta : Trisakti University Press, 2006.


Artikel Terkait :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog